|
Keraton Kesultanan Ternate |
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate
(mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di
Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki
peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad
ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16
berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya
kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur
dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.
Asal Usul
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13,
penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di
Ternate terdapat 4 kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang momole
(kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para
pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk
Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan
Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman
yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin
Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan
mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan
diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur
Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam
perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut
juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo
dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka
mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa
generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang
hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan
terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Organisasi kerajaan
Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole.
Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano.
Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan
penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar
Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting
dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu
(perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau
Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan
sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing – masing dikepalai
seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola,
Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal
dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya
dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato
Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan,
Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur organisasi kesultanan Ternate.
Moloku Kie Raha
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5
kerajaan lain yang memiliki pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda.
Kerajaan – kerajaan ini merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di
Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai
melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan
kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga
memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja
Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo
(1322-1331) mengundang raja – raja Maluku yang lain untuk berdamai dan
bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai
Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain
terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di
Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka
disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan Islam
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan
Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya
kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya
pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal
Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun
keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan
bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano
Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui
memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano
Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah
yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan
menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat
Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan
para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku
secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama
di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru
pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal
sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).
Kedatangan Portugal dan perang
saudara
Di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin
berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan
perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk
memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di
Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugal
untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco
Serrao, atas persetujuan Sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang
di Ternate. Portugal datang bukan semata – mata untuk berdagang melainkan untuk
menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku. Untuk itu
terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat
meninggalkan pewaris - pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan,
permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai
wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan
Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran
Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan
pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II).
Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugal
memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang
saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese
didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru
dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat
kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan
untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap
bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India. Disana ia dipaksa Portugal
untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan
vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan Khairun (1534-1570).
Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara – saudaranya membuat
Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak –
tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang
akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah,
Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam
utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan
kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk
membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan
perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat,
selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga
memiliki sekutu – sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang
Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal
di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa
memohon damai kepada sultan Khairun. Secara licik Gubernur Portugal, Lopez de
Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan
kejam membunuh Sultan yang datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun
semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh
Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di
seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama
5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575.
Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-putera
nusantara atas kekuatan barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate
mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di
bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan)
dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan
Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan
Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut)
hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di
Indonesia timur, disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan
tengah nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14
dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal
mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat.
Kedatangan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol
yang telah bersatu dengan Portugal tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku
dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya
di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau
Spanyol namun gagal bahkan sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan
dibuang ke Manila. Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate
meminta bantuan Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol
namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan
menguasai Ternate, tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak
monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda
melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje
di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang
antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan
bangsawan Ternate. Diantaranya adalah pangeran Hidayat (15?? - 1624), Raja muda
Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang
menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli
dagang Belanda dengan menjual rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan
Makassar.
Perlawanan rakyat Maluku dan
kejatuhan Ternate
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan –
sultan Ternate semakin kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang
merugikan rakyat lewat perintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar dan
sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan.
Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan
Ternate dan rakyat Maluku.
- Tahun
1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot
Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon cengkeh dan
pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi
Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641,
dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate – Hitu – Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda
di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643.
Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali
dan Tolukabessi hingga 1646.
- Tahun
1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon,
pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau
akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan
berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang
utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalumata.
Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan
Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran
Kalumata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin
pemberontakan di Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung
dengan raja Gowa sultan Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat
berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan
Manilha (1650–1655) namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah
kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi cs berhasil
dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara
pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam
pengasingan.
- Sultan
Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori
(1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda yang semena -
mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa
Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena
daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan
terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat
para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7
Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya
menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini
mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan
Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman
Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya
mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun
1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan
rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah
pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada
dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak
Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda
Agerbeek, markas mereka diobrak – abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer
serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut
berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung.
Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh
karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September
1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan
seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal
disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan
sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh
Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia
Belanda untuk menghapus kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan
karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara
Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun,
Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka.
Jabatan sultan sebagai pemimpin Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. H. Mudaffar Sjah, BcHk. (Mudaffar II) yang
dinobatkan tahun 1986.
Warisan Ternate
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah
runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan
dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate
memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur
khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup
agama, adat istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki
peran yang besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam
di wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi
kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh
sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku
hampir tanpa perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan
Baabullah dalam mengusir Portugal tahun 1575 merupakan kemenangan pertama
pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat
Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100 tahun
sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal
niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya
Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut
pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai
wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam
tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia dan Non
Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar
terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46%
kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu –
Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara,
pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang
berbeda – beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan
Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521
yang saat ini masih tersimpan di museum Lisabon – Portugal.
Daftar Sultan Ternate
Kolano
dan Sultan Ternate
|
|
Baab
Mashur Malamo
|
1257
- 1277
|
Jamin
Qadrat
|
1277
- 1284
|
Komala
Abu Said
|
1284
- 1298
|
Bakuku
(Kalabata)
|
1298
- 1304
|
Ngara
Malamo (Komala)
|
1304
- 1317
|
Patsaranga
Malamo
|
1317
- 1322
|
Cili
Aiya (Sidang Arif Malamo)
|
1322
- 1331
|
Panji
Malamo
|
1331
- 1332
|
Syah
Alam
|
1332
- 1343
|
Tulu
Malamo
|
1343
- 1347
|
Kie
Mabiji (Abu Hayat I)
|
1347
- 1350
|
Ngolo
Macahaya
|
1350
- 1357
|
Momole
|
1357
- 1359
|
Gapi
Malamo I
|
1359
- 1372
|
Gapi
Baguna I
|
1372
- 1377
|
Komala
Pulu
|
1377
- 1432
|
Marhum
(Gapi Baguna II)
|
1432
- 1486
|
Zainal
Abidin
|
1486
- 1500
|
Bayanullah
|
1500
- 1522
|
|
1522
- 1529
|
|
1529
- 1533
|
|
1533
- 1534
|
|
1535
- 1570
|
|
1570
- 1583
|
Said
Barakat syah
|
1583
- 1606
|
Mudaffar
Syah I
|
1607
- 1627
|
Hamzah
|
1627
- 1648
|
Mandarsyah
|
1648
- 1650 (masa pertama)
|
Manila
|
1650
- 1655
|
Mandarsyah
|
1655
- 1675 (masa kedua)
|
Sibori
|
1675
- 1689
|
Said
Fatahullah
|
1689
- 1714
|
Amir
Iskandar Zulkarnain Syaifuddin
|
1714
- 1751
|
Ayan
Syah
|
1751
- 1754
|
Syah
Mardan
|
1755
- 1763
|
Jalaluddin
|
1763
- 1774
|
Harunsyah
|
1774
- 1781
|
Achral
|
1781
- 1796
|
Muhammad
Yasin
|
1796
- 1801
|
Muhammad
Ali
|
1807
- 1821
|
Muhammad
Sarmoli
|
1821
- 1823
|
Muhammad
Zain
|
1823
- 1859
|
Muhammad
Arsyad
|
1859
- 1876
|
Ayanhar
|
1879
- 1900
|
Muhammad
Ilham (Kolano Ara Rimoi)
|
1900
- 1902
|
Haji
Muhammad Usman syah
|
1902
- 1915
|
Iskandar
Muhammad Jabir syah
|
1929
- 1975
|
|
1975
– sekarang
|
Sumber : Wikipedia